Loading...

Reformasi Birokrasi

Kementerian Pertanian, RI

Akuntabilitas Keuangan

 Akuntabilitas Keuangan

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Menteri/Pimpinan lembaga sebagai sebagai pengguna anggaran/pengguna barang Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas antara lain menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) bukan hanya merupakan alat pertanggungjawaban keuangan pemerintah saja, tetapi juga merupakan indikator kredibilitas pemerintah yang tercermin dari transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Sehingga, penyusunan LKPP yang berkualitas bukan sekedar sebuah pilihan, melainkan telah menjadi sebuah tuntutan untuk dipenuhi.

Laporan keuangan Kementerian Pertanian selama 2 (dua) tahun yaitu tahun 2006 dan tahun 2007 oleh Badan Pemeriksa Keuangan memberikan opini Tidak Menyatakan Pendapat (disclaimer), kemudian pada tahun 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012 BPK RI memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Opini WDP tersebut diberikan BPK RI selama 5 tahun berturut-turut sejak tahun 2008. Opini WDP tersebut diberikan karena BPK RI masih menilai laporan keuangan Kementerian Pertanian telah menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan Kementerian Pertanian, pelaporan dan realisasi anggaran untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai dengan Sistem Akuntasi Pemerintah kecuali untuk beberapa hal yang dikecualikan.

Dalam mencapai target opini WTP pada tahun 2013, Kementerian Pertanian mempunyai kendala-kendala sebagai berikut:

  1. Penyelesaian jumlah satker In-aktif yang cukup besar (berdasarkan laporan BMN sejumlah 1070 satker).
  2. Masih terdapat selisih pencatatan aset antara data SAK dan SIMAK BMN.
  3. Penatausahaan Barang Persediaan yang belum Memadai.
  4. Masih terdapat perbedaan ADK satker, wilayah, dan eselon I.
  5. Petugas SAI di daerah lebih sering berganti.
  6. Masih rendahnya pemahaman petugas SAI terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
  7. Belum optimalnya peranan UAPPA/B-W dalam melakukan verifikasi dan pembinaan terhadap satker.
  8. Perbedaan data saldo awal di Satker, Wilayah, Eselon I dan Kementerian.
  9. Pengungkapan Informasi dalam LK bervariasi formatnya dan kurang lengkap.
  10. Terbatasnya keterlibatan SDM dalam penyusunan LK.
  11. Pemahaman atas Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-55/PB/2012 berbeda.
  12. Perubahan atas penyajian Catatan atas LK dari Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-55/PB/2012 ke Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: Per-57/PB/2013 pada akhir tahun.
  13. Perubahan atas penyajian Catatan atas Laporan Barang Milik Negara dari Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-51/PB/ 2010 ke Surat Edaran Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor: SE-2/DJKN/2014 pada awal tahun 2014.

Terkait hal tersebut diatas telah dilakukan beberapa upaya, yaitu penanganan jumlah satker In-aktif yang cukup besar, upaya yang telah dilakukan adalah:

  1. Berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan DJKN tentang penyelesaian Satker In-aktif, khususnya yang membawa Aset. Bekerja sama dengan Tim Pengawas Internal (Inspektorat Jenderal) terkait Tindak Lanjut dan penyelesaian Satker In-aktif;
  2. Melakukan identifikasi terkait keberadaan satker In-aktif lingkup Kementerian Pertanian;
  3. Mengurangi jumlah satker dan diusahakan agar satker tetap aktif serta tidak berubah-ubah nomenklatur;
  4. Menginventarisasi aset yang berada di satker In-aktif untuk kemudian dilakukan serah terima aset tersebut ke satker aktif (Dinas Propinsi);
  5. Melakukan penutup bukuan Satker In-aktif berdasarkan PMK Nomor: 198/PMK.05/2012 tentang Pelaksanaan Likuidasi Entitas Akuntansi dan Entitas Pelaporan pada Kementerian Negara/Lembaga.

Penanganan adanya selisih SAK dan SIMAK BMN, upaya yang telah dilakukan adalah:

  1. Proses Verifikasi yang lebih Detail atas Laporan SAK dan SIMAK BMN dari Tingkat UAKPA/B, UAPPA/B-W, UAPPA/B-E1 dan UAPA/B;
  2. Rekonsiliasi internal data SAK dan SIMAK BMN dari mulai tingkat satker sampai ketingkat Kementerian dilakukan lebih cermat;
  3. Updating data tingkat Wilayah dan Eselon I atas pencatatan SAK dan SIMAK;
  4. Dalam pelaksanaan workshop penyusunan LK seluruh verifikator dari pusat untuk lebih memperhatikan dan mengantisipasi adanya selisih SAK dan SIMAK BMN.

Penanganan atas penatausahaan barang persediaan, upaya yang dilakukan adalah:

  1. Seluruh Eselon I Lingkup Kementerian Pertanian agar mengintruksikan kepada seluruh satker–satker di bawahnya untuk melakukan stock opname atas barang Persediaan yang dimilikinya baik Semesteran maupun Tahunan;
  2. Membuat Berita Acara Hasil Stock Opname dan membukukan dalam Laporan Persediaan;
  3. Melakukan Rekonsiliasi Internal maupun Eksternal atas Barang Persediaan;
  4. Satker agar mencatat rincian realisasi dan neraca atas belanja 526.
  5. Melakukan review atas titik kritis temuan BPK-RI tahun 2013 dalam rangka mencapai opini WTP;
  6. Mengawal sistem akrual dalam penyusunan LK sesuai PMK Nomor: 01/PMK/2013;
  7. Mengawal penyusutan barang milik negara berupa aset tetap dalam penyusunan laporan keuangan sesuai PMK Nomor: 1/PMK.06/2013;
  8. Verifikasi dan konsolidasi LK tingkat satker, wilayah, eselon I yang dikoordinatori oleh Biro Keuangan dan Perlengkapan;
  9. Penetapan petugas SAI di setiap satker melalui surat keputusan;
  10. Sosialisasi SAP kepada seluruh satker lingkup Kementerian Pertanian;
  11. Pelatihan Verifikator LK dan BMN tingkat wilayah dan eselon I;
  12. Sekjen mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 3332/KU.050/A/11/2013 tentang Panduan Penyusunan CaLK Tingkat Satker dan Eselon I guna mengeliminir ketidakseragaman dalam penyajian LK tingkat Satker dan Eselon 1 serta pengungkapan yang kurang memadai;
  13. Terkait dengan telah dikeluarkannya Peraturan Direktur Jenderal Nomor: Per-57/PB/2013, Satker dan Eselon I tetap menggunakan panduan CaLK sesuai SE Sekretaris Jenderal dan ditambah perubahan dalam Peraturan Direktur Jenderal tersebut. Selain itu Kementerian Pertanian telah berhasil membuat aplikasi penyusunan CaLK, sehingga kecepatan dan keakuratan penyajian CaLK lebih meningkat;

 

Threeparted dan rekonsiliasi data LK antara Wilayah, Eselon I dan Kementerian; dan Sosialisasi Panduan Penyusunan CaLK versi Kementerian Pertanian.